CHAPTER: MENGENAL DIRI
Menjadi orangtua adalah kurikulum hebat yang disiapkan Allah
untuk mendewasakan manusia. Hebatnya lagi kurikulum itu unik untuk setiap
manusia. Di setiap chapter-nya kita
diberi pilihan-pilihan tidak terbatas, dan menghasilkan kombinasi implikasi yang
tidak terbatas pula.
Bagi sebagian orang memiliki 3 orang anak laki-laki bukan
suatu yang luar biasa. Bahkan seseorang yang aku kenal, punya 12 orang anak
laki-laki dan perempuan. Subhanallah!
Tapi yang ingin aku bahas disini bukan tentang jumlah anak,
tapi tentang keunikan setiap anak. Tentang sebuah konsekuensi memiliki anak
yang lebih banyak : membutuhkan energy yang lebih banyak!
Aku punya 3 anak laki-laki: Jaka, Dika, dan Raka.
Mereka punya sifat yang unik. Ada sifat yang kental melekat
pada mereka, dan lucunya kadang aku mengenali sifat-sifat itu. Sebagian kecil persis
seperti kami, ibunya-atau- ayahnya…Hehe, lucu karena jika itu sifat kami yang
buruk, mulut rasanya malu untuk menegur. Harusnya kami menegur diri kami
sendiri bukan?
Dari 3 anak ini yang terlihat bakat dan minatnya adalah
anak-ku yang ke-2. Jadi mitos bahwa anak ke-2 adalah anak yang paling invisible tidak berlaku dalam keluarga
kecil kami. Dika adalah pusat perhatian! Dimanapun dia berada. Bukan karena
suaranya yang seperti harimau saat dia mengamuk. Bukan karena sifat keras kepalanya.
Tapi, entah mengapa dia memang bisa membuat kami memberikan perhatian padanya,
baik itu sukarela atau terpaksa, hee.
Dia anak yang cerdas, cepat melahap buku, cepat menganalisa
suatu masalah, kreatif dan tahan berlama-lama di depan computer. Sebagai orang
tua aku berusaha memfasilitasi Dika. Tak terhitung gadget yang kami siapkan untuk mendukung aktivitas Dika. Keyboard(music),
kamera, new PC dan berbagai software, mulai dari photoshop, game maker, flash animator,
comic factory….you named it! Bahkan Ayah menghadiahi Dika Samsung- Iphone 4s,
sepulangnya dari Thailand. (Bunda
langsung pingsan!)
Oke, uang bisa dicari. Katakanlah semua itu investasi untuk
masa depan Dika. Lalu bagaimana dengan Jaka dan Raka? Kok yang difasilitasi
hanya Dika? Memang, sepertinya Jaka dan
Raka tidak meributkannya dan dan tidak terlihat iri pada perlakuan kami pada
Dika.Tapi sebagai seorang ibu yang ingin berbuat adil pada anak-anaknya, aku
HARUS mulai berpikir. Apa yang bisa aku berikan untuk Jaka dan Raka. Maka, aku
pun mulai memantau mereka dengan sungguh-sungguh. Mmhhhh, apa ya?
Jaka…senangnya mengetuk-ngetuk semua benda disekelilingnya, tatalu orang Sunda bilang. Maka, aku
jebloskan dia kelas drum Elfa Secoria
dengan perjanjian tidak tatalu
sembarangan.
Alhamdulillah, dia tidak tatalu
seenaknya lagi sekarang. Tapi aku tidak yakin itu cukup. Aku ingat sejak
balita, Jaka senang bermain lego, melakukan hal-hal detail yang memerlukan
ketekunan. Maka, kucemplungkan juga dia di les robotic. Sayangnya, aku masih penasaran dan aku mencoba bicara
dengannya dari hati-ke-hati. Aku bertanya apa yang sebenarnya dia inginkan. Tidak
ada jawaban. Dia merasa cukup dengan yang dimilikinya saat ini. Bahkan ketika
ku tanya mau masuk SMP mana, dia menjawab: “gimana nilai UANnya aja Bun,
cukupnya masuk mana.”
“Piuhhhh” aku hanya menghela keringat di kening. Unbelievable. Apa jaman yang sudah berubah
atau factor perbedaan kematangan berpikir antara laki-laki dan perempuan?
Seingatku, waktu kelas 6 dulu aku punya SMP idaman. Kok, anakku ini tidak
begitu ya? Apa ini salah kami, orangtuanya, yang tidak pernah mengajarkan
mereka mengejar target? Apa sekolah tidak memberi mereka cukup motivasi? Entah
siapa yang harus disalahkan untuk ini.
Eittt…mulai cari kambing hitam lagi nih. “Ayo cari solusi,
Bun! ”teriak hati kecilku.
Yap, cari solusi! Aku jadi teringat obrolanku dengan Mas
Teuku. Dia cerita tentang perubahan pola asuh yang dilakukannya setelah tes
sidik jari. Kenapa aku tidak mencobanya? Setelah browsing-browsing, aku kontak
konsultan sidik jarinya dan aku menantangnya untuk datang besok harinya. Tomorrow or never! Hahaha… sound dare, ya?
Alhamdulillah, konsultannya tepati janji dengan very much ontime (you got my thumb, akhi!). Dan berkat keikhlasannya dia mendapatkan
5 orang pasien hari ini. Jaka, Dika, Raka, Aku dan Mamaku! Tiap orang hanya Rp.
300.000,-. Mahal atau murah?
Bisa mahal, bisa murah.
Mahal , kalau hitungannya lembaran uang yang berpindah
tangan. Setengah gajiku sebulan kini sudah menjadi hak orang lain.
Murah, kalau itu adalah kertas yang ditukar dengan Ilmu yang
dipelajari puluhan tahun dengan penuh passion,
dengan keinginan membantu manusia mengenali dirinya secara ilmiah.
Dan aku memilih yang
kedua: Super Duper MURAH!
Kenapa?
Ini adalah testimoniku:
1.
Aku salah!
2.
Akhirnya aku paham!
Salah?
Aku kira aku sudah mengenali salah satu anakku, Dika. Aku hanya butuh
jawaban untuk dua anakku yang lain. Ternyata, penilaianku tentang Dika salah.
Apa yang kukira kekuatan terbesarnya, ternyata bukan kekuatan terbesarnya. Apa
yang kukira hanya sekedar bonus atau nilai tambah, justru itu kekuatan
terbesarnya.
Paham? Ya, karena sekarang aku paham kenapa
Jaka begini, kenapa Dika begitu, kenapa Raka beginu (antara begitu dan begini,
maksudnya..hehe), kenapa Aku begono, kenapa Mama-ku begana (kehabisan
kreativitas nih..hehe).
Kami semua tertawa geli dan mengalami wowing moment at that time. Kami saling memandang
dan terangguk-angguk, saat konsultannya menerangkan hasil tes kami.
Well, dari panjang
lebar ceritaku yang membosankan diatas aku Cuma mau bilang:
Aku kira aku mengenal kelebihan dan kelemahan mereka. Padahal
aku bahkan belum terlalu mencoba mengenali kekuatanku dan kelemahan ku sendiri.
Kita harus mengakui bahwa kita perlu
bantuan untuk mengenali diri kita sendiri.
Sometimes we AFRAID to
face the mirror, when we THINK that we are not good looking.
But if you never
mirrored, then you never know that you are BEAUTIFUL!
PS:
It’s never too late to
know what you really are. So don’t be ashamed
to have your fingerprint test.
My advice: Do it ASAP!
Then tell me what A-ha
moment you got!
0 komentar:
Posting Komentar