Sabtu, 15 Mei 2010

Menentukan Jumlah Anak Sesuai Kemampuan atau Kebutuhan

Robert Malthus, seorang rohaniawan Inggris, menulis “An Essay on The Principles of Population” pada tahun 1978. Dalam Essaynya tersebut Malthus menyatakan bahwa penduduk berkembang menurut deret ukur, sedangkan persediaan makanan berkembang menurut deret hitung. Sehingga, pada suatu titik tertentu akan tercipta situasi dimana jumlah penduduk tidak bisa dicukupi oleh makanan yang tersedia.

Saat awal masa kemerdekaan, Indonesia belum mengalami ancaman akibat tekanan penduduk. Di tahun 1940, jumlah penduduk Indonesia adalah 69,2 juta jiwa. Sepuluh tahun kemudian jumlah penduduk Indonesia menjadi 77,2 juta. Pemerintah saat itu yang dipimpin oleh Soekarno, menerapkan kebijakan penduduk yang pronatalis. Soekarno percaya bahwa jumlah penduduk yang besar merupakan kekuatan dari revolusi. Kebijakan tersebut mengakibatkan baby booming pada kurun waktu 1950-1970. Terjadi ledakan penduduk sebesar 53 persen. Tahun 1970 jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 118,2 juta jiwa. Ancaman tekanan penduduk mulai terasa karena pertumbuhan penduduk yang pesat tidak terimbangi dengan pertumbuhan penduduk.

Widjodo Nitisastro menguraikan dalam penelitiannya, jika TFR pada tahun 1970 yaitu sebesar 5,6 dibiarkan, maka diperkirakan pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 350 juta jiwa. (Penelitian tahun berapa).

Jumlah penduduk yang besar merupakan ancaman yang serius. Ayoub (tahun?) dalan thesisnya “An Economic Analysis of Women Schooling and Fertility” menyatakan : “ ...tingginya fertilitas adalah salah satu ancaman utama kelangsungan pembangunan. Pada tingkat makro, pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan pendapatan yang stagnan akan mengahsilkan kesenjangan pendapatan, ketiadaan kesempatan ekonomi dan tingginya pengangguran. Pada tingkat mikro, tingginya pertumbuhan penduduk membawa kita pada isu serius masalah kemiskinan. Keluarga miskin, khususnya wanita dan kelompok marjinal, menanggung beban dari banyaknya anak dengan sumberdaya yang semakin sedikit untuk setiap anak, yang selanjutnya akan meningkatkan spiral kemiskinan dan kemunduran status perempuan.”

Kesadaran akan ancaman yang mungkin muncul akibat jumlah penduduk yang terlalu banyak, maka pemerintah mencanangkan sebuah program yang dinamakan “Keluarga Berencana”. Natael Iskandar (tahun?) memperkirakan apabila program KB berhasil maka jumlah penduduk akan bisa dibendung, sehingga pada tahun 2000 jumlah penduduk hanya mencapai 280 juta jiwa. Kenyataannya di tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia hanya 206 juta (Muhadjir, 2008). Program KB dirasakan berhasil sehingga bisa menekan TFR menjadi 2,6. Namun angka tersebut masih belum ideal, karena seperti watching the grass grow.

Rahmawati(2007) menyatakan bahwa penurunan fertilitas menunjukkan adanya pergeseran nilai anak. Keuntungan materi dan kebahagiaan yang diperoleh orang tua bila memiliki anak tidak sebanding dengan biaya dalam membesarkannya. Jika jumlah anak dalam keluarga besar, maka biaya dan alokasi waktu untuk anak akan besar. Hal tersebut dapat membebani orang tuanya.

Rahmawati berpendapat bahwa sebab utama tinggi rendahnya tingkat fertilitas adalah beban ekonomi keluarga. Ada dua pandangan yang bertentangan antara hubungan antara tingkat fertilitas dan beban ekonomi. Pandangan pertama menyatakan bahwa anak bisa dijadikan aset, sehingga mengharapkan jumlah anak yang banyak.

Sedangkan pandangan yang kedua menyatakan bahwa biaya yang dibutuhkan dalam membesarkan anak sangat besar, sehingga memilih untuk memiliki anak dalam jumlah yang sedikit.  Dalam artikel “ The Demmand For Children; A Critical Essay” Bulatao dan Lee (1983) menyatakan konsep DFC sebagai jumlah anak yang diinginkan. Termasuk dalam pengertian jumlah adalah jenis kelamin anak, kualitas, waktu memiliki anak dan sebagainya. Konsep DFC diukur melalui pertanyayn survey tentang “ jumlah keluarga yang ideal atau diharapkan atau diinginkan”.

Mindihardjo (1998) menulis bahwa pertimbangan ekonomi menentukan tingkat fertilitas terkait dengan income, biaya (langsung maupun tidak langsung), selera, modernisasi dan lain sebagainya. Pernyataan tersebut mendukung pendapat Becker (1976), bahwa secara ekonomi pada dasarnya dapat dianggap sebagai barang konsumsi (consumption good, consumer’s durable) yang memberikan kepuasan tertentu bagi orang tua. Bagi banyak orang tua, anak merupakan sumber pendapatan dan kepuasan.

Pertanyaannya, apakah konsep DFC berlaku di negara berkembang? Apakah pasangan di negara berkembang dapat memformulasikan jumlah anak yang diinginkan? Menurut Bulatao, jika pasangan tidak dapat memformulasikan jumlah anak yang diinginkan secara tegas maka digunakan latent demand dimana anak yahg diinginkan akan disebut oleh pasangan ketika mereka ditanya. Modernisasai berpengaruh terhadap DFC dalam kaitan membuat latent demand menjadi efektif. Sehingga DFC dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti biaya anak, pendapatan keluarga dan selera.


Monolog:
Sekarang, buat kita yang hidup di jaman sekarang namun masih terperangkap dalam pola pikir jadul:


Apakah anak menjadi investasi masa depan, atau anak menjadi ancaman finansial. Apakah banyak anak banyak rejeki masih relevan generasi ini?

Mungkin ini saat untuk merenung dan menghitung bukan secara matematis, hanya mempertimbangkan: apakah aku sanggup untuk punya anak lagi? 

Well.........i'll think about it.

Jumat, 01 Januari 2010

STATCAP_CERDAS

Statistic Capacity Building- Change and Reform for Development of Statistic (STATCAP_CERDAS) dari namanya yang begitu hebat, pasti ada tuntutan hebat pula dibelakangnya. Program ini mulai dihembuskan karena adanya semangat pembaharuan dalam Badan kita tercinta ini.

Perubahan adalah satu kata yang pendek dan mudah diucapkan, tapi ternyata tidak semua orang mampu dan mau melakukannya.

Kepala BPS Pusat bertekad memulai perubahan BPS di segala bidang, fisik, prasarana dan kesejahteraan. Betapa dalam tahun-tahun terakhir ini pembangunan gedung BPS dimana-mana, beasiswa dan kursus makin banyak, bahkan kabar renumerasi pun ditiupkan. Namun apakah kondisi orang-orang kecil kayak aku ini ikut merasa ada perubahan?

Kalau masalah bangunan yang makin kinclong, tentu bukan suatu hal bisa disanggah. Secara fisik perubahan memang terjadi secara nyata. Namun didalamnya, ada temenku yang terduduk lunglai saat menyadari mainboardnya rusak padahal datanya belum di back up. Bagaimana dengan temanku yang satu lagi, harus lembur sampai malam karena di rumah ga punya komputer sedangkan bos ga rela meminjamkan laptop plat merahnya. Lalu bagaimana dengan staf yang harus ke warnet karena internet kantor ngadat, dan harus merogoh kocek pribadi demi perintah bos. Lalu bagaimana dengan tuntutan harus tinggal di kantor selama jam kerja, padahal tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan di kantor karena para bos asyik dengan proyeknya masing-masing...Duhhhhh, jadi takut jadi pemimpin nih.

Well,
Hammer dalam papernya “ Reengineering Work; Don’t Automate Obligarate” menekankan bahwa yang perlu ditekankan bukanlah tugas, tapi outcome-nya. Memperlakukan sumber-sumber terpisah, namun seakan-akan tersentralisasi. (BPS udah nih memenuhi syarat ini wkkwk), dan memperoleh informasi sekaligus dari sumbernya (nah, kalo yang ini belum banyak orang yang bisa legowo...).

Dari Riset yang dilakukannya disimpulkan bahwa hampir 50 persen sampel mengalami kegagalan.

Sumber kegagalan tersebut adalah:


1Resistance to Change


Menolak untuk berubah. Memangnya ada orang yang ga mau berubah? Wah, ada...banyak malah. Apalagi kalau sudah berada di zona aman. Ga ada yang bakal mau berubah. Kalau di daerah sulit, baru grasak-grusuk minta pindah. (kayak gw hehe). Hal ini yang menurut Ka BPS Papua, Bpk Djarot menjadi salah satu kendala kemajuan daerah. Tingkat turn over yang tinggi, membuat daerah seperti Papua menghabiskan energinya untuk mendidik tenaga hijau untuk akhirnya kemudian minta pindah ke Jawa.


Dari sisi pejabat juga, kayak iklan Ligna, “kalo udah duduk, lupa berdiri”(kikikik). Dengan adanya perubahan disegala hal tentunya penilaian terhadap calon pejabat untuk menduduki jabatan juga menjadi berubah. Jika asalnya yang dinilai hanya faktor-faktor administratif, kini fit and proper test harus dilakukan dengan baik bukan hanya formalitas belaka. Karena karena pejabat yang ditunjuk ternyata tidak mempunyai kualitas pemimpin apa jadinya anak buah yang berada di bawahnya...ancurrrrrrr

2. Lack Management Comitment

Komitmen manajemen sangat diperlukan, karena bagaimanapun keputusan berada ditangan para pemimpin. Jika pemimpin tidak menguasai manajemen, maka organisasi keseluruhan akan kacau balau.

3. Lack of Capability Information System

Di jaman yang sudah maju ini penguasaan teknologi menjadi suatu yang niscaya. Kemampuan para pemimpin terhadap penguasaan teknologi bukan merupakan “sebaiknya” tapi ‘harus’. Pada era perubahan seperti ini sudah tidak selayaknya bawahan menjadi pelayan bagi pimpinan. Tapi pemimpin justru menjadi fasilitastor bagi para bawahannya agar tetap berada di trek organisasi dan menghasilkan outcome sesuai dengan yang diharapkan.

4. Lack of Breath and Depth aAalysis of BRS Critical Factors

Kemampuan untuk mengenali kendala yang dihadapi dalam mencapai sasaran sangat penting. Upaya monitoring dan evaluasi harus dilaksanakan secara simultan. Dibekali kemampuan teknis dan manajemen yang baik seorang pemimpin akan mampu membawa lembaga ke arah perubahan yang lebih baik.

Karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pengimplementasian BRS versi Hammer, Khoong, 1995 menawarkan metodologi revisi. Hal yang digaris bawahi oleh Khoong adalah:

1. Initiate

2. Envision

3. Analyze

4. Redesign

5. Blueprint

6. Implement

7. Monitor

Semoga dengan mempelajari metodologi revisi Khoong, BPS bisa semakin maju. Maju bersama STATCAP-CERDAS.

Are you SMART enough?


Salam Emak!


 

Keluarga Pak Wajdi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang