Senin, 20 April 2009

lilit keju


Bahan:
100 gr tepung terigu
25 gr margarin
3 sdm gula tepung
2 sdm air dingin
100 gr keju cheddar yang dipotong korek api
Minyak untuk menggoreng

Cara membuat:
Aduk semua adonan, uleni hingga kalis.
Setelah kalis dan lembut, giling dengan gilingan mie.
Lilitkan pada sepotong keju. Basahi ujungnya dengan air agar lengket.
Goreng sampai kecoklatan.

Minggu, 19 April 2009

Pastel Mini Isi Abon

Bahan:
250 gr tepung terigu
60 gr margarine
1 bungkus kaldu sapi bubuk
air dingin secukupnya
minyak goreng untuk menggoreng
tepung kanji untuk taburan
abon untuk isian secukupnya

Cara membuat:
Sama dengan membuat kulit kue bawang. Tapi digiling sampai tebal 7.
Lalu dicetak bulat-bulat kecil. Diisi abon. Direkatkan ujungnya dibantu dengan air agar lengket, abon tidak keluar ketika digoreng. Trus dikriwil-kriwil. Goreng deh sampai kecoklatan.

Bikin pastel mini ini adalah salah satu obsesi. Bunda suka banget ama pastel mini. Jadi pingin banget ngolaborasiin pastel dengan kulit berlapis yang renyah. Acara ngriwil-ngriwilin jadi bagian yang paling cape sekaligus yang paling menyenangkan. Sesuatu yang membanggakan bisa ngriwili-ngriwilin dengan rapih, sampai anakku ikut-ikutan belajar. Hasilnya bagus juga. Buktinya ketika udah digoreng gak bisa dibedain lagi mana bikinan Bunda mana bikinan anak-anak. Yang jelas anakku suka banget. Sampai-samapai acara pemotretan gagal lantaran objeknya ludesss. Untung Bunda berhasil menyelamatkan beberapa potong untuk ditunjukkan di blog ini. Jadi terbukti kannnn!



Kue Bawang Tini


Mamanya Bunda (Niay) agak ‘pemilih’ kalo masalah jajanan. Dan yang tidak kuduga ternyata Niay suka ama jajananku Bunda ini. Resepnya cukup sederhana, tapi pengerjaannya luarhhh biasa nyapein...Biasanya Bunda cuma bikin ¼ resep. Tapi dengan pede-nya hari itu Bunda bikin 1 resep. Aje gileee..


Kue Bawang Tini

Bahan:
1000 gr terigu
250 gr margarine
3 bungkus kaldu sapi bubuk
1 cangkir seledri cincang halus
1 cangkir daun bawang cincang halus
air dingin secukupnya
minyak goreng untuk menggoreng
tepung kanji untuk taburan (biasanya membutuhkan sampai 250 gr)

Cara membuat:
Campur terigu, margarine, bubuk kaldu, seledri dan daun bawang. Tambahkan air sedikit demi sedikit sampai kalis tidak terlalu lembek.
Giling dengan gilingan mie pada tebal 1 sebanyak 3 kali, setiap kali digilas taburi dengan kanji lalu lipat 2.
Setelah itu giling pada tebal 4 sebanyak 3 kali dengan cara yang sama.
Giling lagi pada tebal 6 sebanyak 3 kali dengan cara yang sama. Lalu potong-potong. (Kalau diajarinnya sih pake gunting dengan lebar 1 cm-an. Tapi berhubung Bunda bikin banyak. Nggak ku-ku lah kalo harus pake gunting, jadi Bunda potongin pake gilingan cheese stick...Jadinya renyah, berlapis-lapis. Anak-anak pun sukaaaa...)

Jumat, 17 April 2009

Tadi pagi aku kantongi anakku yang kedua, Dika, selembar ratus ribuan. Cukup besar untuk ukuran anak TK B.

Jumat, 10 April 2009

PELAJARAN SEDIH DARI JENGIS KHAN

PELAJARAN SEDIH DARI JENGIS KHAN

Suatu hari yang cerah disekitar abad ke-13, hari itu adalah hari berburu sanag raja yang terkenal dengankeberaniannya itu. Diikuti para sahabat dan prajuritnya yang setia raja menunggang kuda dengan riang gembira. Dipergelangan tanggan raja bertenggerlah seekor rajawali kesayangannya. Elang itu sudah terlatih untuk mengintai mangsa dengan mata yang tajam. Bila dia melihat mangsa maka ia akan menukik tajam dan menyerangnya seperti anak panah.
Tidak seperti biasanya tidak nampak tanda-tanda mangsa yang bisa diburu. Cuaca hari itu memang sangat terik. Setelah hampir seharian mencari, akhirnya rombongan memutuskan untuk pulang. NAmun Khan memisahkan diri dari rombongan. Khan mempunyai kebiasaan untuk memilih jalan yang berputar. Kebiasaan inilah yang membuatnya hafal tiap jengkal hutan.
Setelah seharian berburu, ternyata persediaan air minumpun habis, tak disadari saat melihat genangan air, Khan teringat akan rasa hausnya. Dengan perlahan-lahan ia mendatangi air tersebut, ternyata airnya terus menguap sehingga tidak bisa diraup. Akhirnya Khan memutuskan untuk menadah tetesan air yang jatuh dari tebing batu.
Dengan sabar Khan menunggu gelas perak yang dibawanya dipenuhi air. Ketika cangkir hampir penuh, dan rasa haus sudah mencekat tenggorokan, Khan mendekatkan cangkir ke mulutnya. Hampir saja rasa hausnya lenyap, jika sang rajawali tidak mengibaskan sayapnya. Cangkir itu jatuh dan airnya tumpah lalu menguap. Khan menggeram, namun ia mulai menadahkan lagi cangkirnya, kali ini ia tidak cukup sabar untuk menunggunya sampai penuh. Lagi-lagi rajawali menukik dan menyambar, membuat cangkir itu klembali jatuh. Khan sangat marah, dan bersumpah akan mematahkan lehar rajawali itu kalau dia sampai tertangkap. Kali ini Khan menadahkan kemablai cangkirnya, namun kali ini dia telah siap menghunuskan pedangnya.Sudutmatanya mengawasi gerak-gerik rajawali itu. Ketika si rajawali kermbali menukik, dengan sigap diayunkannya pedang itu, dan bress...kepala rajawalipun jatuh dikaki Khan penuh lumuran darah.
“Itulah hukuman bagi siapapun yang tidak bisa senang dengan kesenangan orang lain.”
Dengan kesal ditendangnya bangkai rajawali itu. Tanpa sengaja ternyata cangkirnya pun ikut tertendang, jatuh ketempat yang tidak bisa dijangkaunya. Khan memanjat tebing mencari sumber tetesan air, karena sekarang ia tidak punya cangkir untuk menadah tetasan air. Sesampainya diatas dia berhasil menemukan genangan mata air yang jernih. Namun, bukan kesenangan yang dirasakan Khan, karena disana diapun melihat bangkai seekor ular berbisa yang racunnya sangat berbahaya.
Khan mematung dan mengingat rajawali kesayangannya yang mati ia tebas di bawah sana.
“Rajawali telah menyelamatkan hidupku, dan aku malah membunuhnya!”
Dengan perasaan galau Khan memasukkan rajawali ke dalam tas berburunya. Ia memacu kudanya agar segera sampai ke istana.
Hari itu Khan mendapatkan pelajaran sedih yang sangat mahal harganya: Jangan pernah melakukan apapun di saat marah.

PELAJARAN DARI BIJI KOPI

Akhir-akhir ini ibu memperhatikan tingkah laku putri remajanya yang sedikit lain dari biasa. Kegelisahan sangat jelas dari bahasa tubuhnya. Ibu mencoba untuk memperlakukan sang putri sebagai orang yang dewasa. Ia tidak berusaha untuk menanyakan apa yang mengganjal perasaan putrinya tersebut. Ia percaya sang putri bisa mencari jalan keluarnya sendiri.
Tidak tahan dengan perlakuan sang Ibu, putrinya itu pun langsung menumpahkan semua keluh kesahnya. Tanpa memotong Ibu hanya mendengarkan dan mendengarkan.
“Kok, Ibu diam saja sih? Aku kan sudah menceritakan semuanya. Jadi menurutmu Aku harus bagaimana?” tanya putrinya penuh ketidak puasan.
Ibu tersenyum. Tanpa banyak bicara Ia bangkit dari kursinya dan menarik tangan putrinya ke dapur.
Ibu mengambil tiga panci dan mengisinya dengan air. Dibiarkannya air itu mendidih dan memasukan wortel, telur dan biji kopi masing-masing pada satu panci.
Setelah semua matang, diletakkan ketiga benda matang tadi ke atas piring. Ia menyuruh putrinya mendekat.” Coba katakan apa yang kamu lihat?”
“Wortel, telur dan kopi”
Ibu mengangguk, lalu dia menyuruh putrinya untuk mencicipi semuanya. Walau penuh rasa heran ia melakukan apa yang diperintahkan ibunya. “Apa maksudnya, Bu?”
“Sayang, ketiga benda itu menghadapi kondisi yang sama: air mendidih. Tapi masing-masing memberikan reaksi yang berbeda. Wortel yang keras, menjadi lunak. Telur rapuh dengan kulit tipis dan isi yang cair, sesudah kena air panas, kulitnya tetap rapuh tapi isinya menjadi keras. Hebatnya kopi justru mengubah air sedangkan bentuknya sendiri tetap sama.”
“Ibu ingin aku memilih seperti apa aku dalam menghadapi masalah-masalahku?” tanya sang putri sambil memegangi tangan Ibu. Ibu mengangguk.
Hidup tidak pernah mudah bagi siapapun. Baik bagi yang kaya, yang miskin, yang cantik, yang jelek. Semua tergantung bagaimana kita bereaksi. Apa kita menjadi lemah setelah menghadapi kesulitan. Atau hati kita malah menjadi keras dan beku, namun tetap mudah terluka. Atau kita bisa mengubah kemalangan yang menerpa,sehingga menjadikan situasi disekitar kita menjadi lebih baik. Seperti kopi yang malah mengeluarkan aroma dan cita rasanya ketika dia terkena air mendidih.




ini jelas bukan kisah original, ini adalah cuplikan dongeng yang pernah tersiar lewat kabar yang sempat membekas dihati..mohon dimaafkan bila disimpan dalam blog ini, sekedar membagi inspirasi. IS that OK?

KISAH IBU BERMATA SATU

Alkisah, tersebutlah seorang ibu miskin bermata satu yang tinggal bersama putra tunggalnya di sebuah gubuk sederhana. Untuk menghidupi dan menyekolahkan anaknya, sang ibu menjual makanan dana menerima pesanan. Suatu hari sekolah tempat anaknya belajar memesan makanan untuk guru-guru. Ketika mengantar makanan ke sekolah, sang ibu menyempatkan diri untuk melihat anaknya. Dengan penuh sukacita, ibu menyapa anaknya yang sedang bermain dengan teman-temannya.
Segera ibu tersebut menjadi pusat perhatian anak-anak. Bahkan sebagian ada yang mengejek dan menertawakannya. Anak tersebut menjadi sangat malu, ia lalu mengacuhkan dan lari meninggalkan ibunya.
Sepulang sekolah, anak itu langsung menemui ibunya dan bertanya, “ Mengapa ibu ke sekolah dan mengapa ibu memepermalukanku?”
Ibu tidak bisa menjawab, ia hanya meneteskan airmatanya dan terdiam. Namun putranya tidak merasa iba karena marah.
“Kalau ibu hanya bisa membuatku malu, kenapa ibu tidak lenyap saja dari muka bumi ini?”
Kata-kata putranya itu semakin membuat air mata ibu menderas. Putranya pergi sambil membanting pintu.
Hari demi hari rasa benci sang anak tak pernah berkurang. Tekad telah dibulatkan, setelah lulus sekolah dia akan pergi dari rumah dan mencari kehidupannya sendiri. Karena kecerdasannya, sang anak berhasil mendapatkan beasiswa dari luar. Anak tersebut berhasil membuktikan kecerdasannya, dia lulus dengan peringkat terbaik. Tak ayal banyak perusahaan yang berebutan untuk mendapatkannya. Dia akhirnya mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang besar.
Setelah punya rumah dan mobil, tak lama kemudian sang anak menikah kemudian mempunyai anak. Ibu hanya mendengar kisah keberhasilan anaknya dari gunjingan tetangga. Betapa mereka sangat mengasihani si ibu karena mempunyai anak durhaka, yang tidak pernah menengok ibunya. Padahal ia kaya, tapi ibunya dibiarkan sakit-sakitan di gubuk reot. Si ibu menyanggah semua itu, dia mengaku memang melarang anaknya untuk datang. Sebaliknya si Ibu lah yang sering disuruh singgah di rumah besarnya. Tapi tentu saja para tetangga tidak percaya begitu saja.
Karena begitu seringnya tetangga mencecarnya, tidak terasa rasa rindu yang selama ini terpendam meluap sudah. Dengan penuh semangat ia mendatangi rumah anaknya itu.
Ketika ia berdiri di depan pintu anak-anak menertawakannya, bahkan salahsatu dari kedua cucunya itu mengejek matanya yang hilang. Sang anak langsung keluar melihat sumber kericuhan. Begitu tahu kalau yang membuat kericuhan itu adalah ibunya, tanpa ragu dia mengusir ibunya pergi. “Belum cukup kau mengahncurkan masa kecilku? Apakah sekarang kau datang untuk menghancurkan seluruh masa depanku. Pergi kau dari sini! Aku tidak mau melihatmu lagi! Kau begitu keras kepala. Tidak heran ayahku tidak tahan padamu dan mati duluan. Padahal kalau dia masih hidup mungkin kita tidak miskin seperti itu.”
Bagai disayat sembilu, hati ibu begitu sakit. Dan diapun pulang dengan penuh kesedihan.
Waktu berlalu. Suatu hari pria itu menerima undangan reuni di kampung halamannya. Sebenarnya dia tidak ingin sama sekali pergi ke kampung itu. Dia benar-benar ingin meninggalkan jejak buruknya di masa lalu. Tapi, karena dia mulai ikut melakukan kegiatan politik yang menuntut untuk berhubungan dengan orang banyak terpaksa ia datang. Saat dia memasuki kampun halamannya, dia melihat begitu banyak orang berkerumun di depan gubuk tua milik ibunya. Hanya karena ingin tahu dia melongok ke dalam dan mendapati bahwa ibunya telah meninggal. Tanpa perasaan gundah dia hanya berkata bahwa memang sudah seharusnya wanita tua seperti ibunya itu mati. Karena kalau hidup pun hanya menyusahkan orang saja. Sakit-sakitan dan ingin diperhatikan.
Ketika dia akan pergi meninggalkan gubuk itu. Seorang tetangga memanggil untuk mendengarkan surat wasiat di ibu. Dengan enggan iapun kembali masuk. Tetua masayarakat kampung itu mulai membacakan surat wasiat si ibu.

“Saya tidak yakin bahwa surat ini akan dibaca oleh siapapun. Karena agaknya, satu-satunya harapanku, yaitu putraku, pun tidak mungkin kupaksa untuk membaca surat ini.
Walaupun kenyataannya surat ini hanya akan tertiup angin, terinjak-injak begitu saja, terhempas ke bibir pantai, dan yang membacanya pun tidak mengenalku, aku tidak peduli. Aku hanya ingin bersaksi, bahwa kalian semua salah. Anakku tidak seburuk yang kalian sangka. Semua perlakuannya kepadaku memang pantas dia lakukan, karena dia tidak tahu. Sejak kecil dia adalah anak yang cerdas dan lincah. Dia suka mencoba hal baru meskipun itu berbahaya. Suatu hari dia sedang mencoba bola baru yang dibawa ayahnya. Tapi tiba-tiba bola itu menggelinding ke tengah jalan, tanpa ragu dia berlari mengejarnya. Suamiku melihat sebuah kereta kuda yang berlari kencang ke arah anakku, dia berlari mencoba menahannya. Tapi nasib berkata lain, suamiku tewas terinjak kuda yang tidak bisa ditahan lajunya, dan anakku tertusuk matanya oleh serpihan-serpihan kereta yang hancur. Aku sedih karena kehilangan suamiku tapi aku tidak mau anakku sedih karena kehilangan matanya. Maka aku putuskan untuk memberikan satu mataku untuknya. Jika aku menjadi buruk rupa karena mataku cuma satu itu bukan salahnya, tapi itu salahku. Kalaupun aku bisa mnyerahkan nyawaku tentu aku juga akan memberikannya pada suamiku. Jika kemudian dia memarahiku karena memberikan kehidupan yang hina dina pun aku tidak akan marah padanya. Karena cuma itu yang aku punya. Sampaikan pada anakku, bahwa aku akan bersamanya, selalu. Dan aku minta maaf untuk itu.”

Si anak hanya bisa memegang matanya. Ya, ibu akan terus hidup bersamanya selalu. Bukan hanya dalam rongga matanya, namun juga dalam rongga dadanya.

Sabtu, 04 April 2009

Emang nasib jadi anak bungsu, kerjaannya disuruh eksyen terus...abis lutuuuuuu... mudah-mudahan kakak-kakaknya gak jeles ya?!

Ini anak ketigaku, namanya Raka Mahatma Putra Wajdi. Tapi nama ini belum diresmikan, soalnya belum punya akta lahir..(tega beneerr ortunya, mentang-mentang anak diluar ASKES). Sampai saat ini masih jadi perdebatan, lantaran banyak yang nggak setuju namanya. Jadi sampai sekarang hampir setiap orang punya sebutan masing-masing. Bunda manggilnya Imbo. Mama Bulan manggilnya Bocil. Niay manggilnya Muhammad Kindy...Jadi lieur euy





Akhirnya berhasil juga! Alhamdulillah...bisa tidur tanpa mimpi buruk nih..hehe

Mau belajar masang foto di pages ini, dari kemaren kok ga berhasil-berhasil ya?

Belajar nge-blog

Walah..walah, ternyata untuk memenuhi keingintahuan terkadang kita ngelupain azas manfaat atau mudharat-nya. Bayangkin, udah ngutak-ngatik berjam-jam cuma ini hasilnya??? Jadi malu ama yang laen. Tapi, yang penting mau belajar kan...

Jalan-jalan

Click to play this Smilebox scrapbook: Taman Lalu Lintas I
Create your own scrapbook - Powered by Smilebox
Make a Smilebox scrapbook

Jumat, 03 April 2009

Nepatin Janji; "museum geologi"




Waktu tinggal di Bima, acara tugas ke Propinsi menjadi kesempatan untuk bersentuhan dengan “peradaban”. Acara wajib setiap ke Mataram adalah beli buah-buahan impor, beli baju anak-anak, beli mainan dan yang paling wajib: ‘beli buku’. Soalnya nyari buku yang bagus agak susah di Bima. Dan gak tahu kenapa, kebanyakan buku atau mainan yang di beli selalu berbau dinosaurus, jadilah anak-anak tanpa disadari jadi salahsatu fansnya para dino. Sampai akhirnya aku janji pada mereka kalau ke Bandung nanti akan aku ajak ke Museum Geologi, disana ada fosil dinosaurus. (Kalau kita mungkin cita-citanya mau ke Mekah liat Kabah, kalau mereka mau ke Bandung liat fosil, hihihi...)

Jadi pas akhirnya kami sekeluarga ke Bandung, hal yang pertama mereka tagih adalah ke Museum Geologi. Dan inilah hasil jalan-jalan kami....

 

Keluarga Pak Wajdi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang