Jumat, 10 April 2009

KISAH IBU BERMATA SATU

Alkisah, tersebutlah seorang ibu miskin bermata satu yang tinggal bersama putra tunggalnya di sebuah gubuk sederhana. Untuk menghidupi dan menyekolahkan anaknya, sang ibu menjual makanan dana menerima pesanan. Suatu hari sekolah tempat anaknya belajar memesan makanan untuk guru-guru. Ketika mengantar makanan ke sekolah, sang ibu menyempatkan diri untuk melihat anaknya. Dengan penuh sukacita, ibu menyapa anaknya yang sedang bermain dengan teman-temannya.
Segera ibu tersebut menjadi pusat perhatian anak-anak. Bahkan sebagian ada yang mengejek dan menertawakannya. Anak tersebut menjadi sangat malu, ia lalu mengacuhkan dan lari meninggalkan ibunya.
Sepulang sekolah, anak itu langsung menemui ibunya dan bertanya, “ Mengapa ibu ke sekolah dan mengapa ibu memepermalukanku?”
Ibu tidak bisa menjawab, ia hanya meneteskan airmatanya dan terdiam. Namun putranya tidak merasa iba karena marah.
“Kalau ibu hanya bisa membuatku malu, kenapa ibu tidak lenyap saja dari muka bumi ini?”
Kata-kata putranya itu semakin membuat air mata ibu menderas. Putranya pergi sambil membanting pintu.
Hari demi hari rasa benci sang anak tak pernah berkurang. Tekad telah dibulatkan, setelah lulus sekolah dia akan pergi dari rumah dan mencari kehidupannya sendiri. Karena kecerdasannya, sang anak berhasil mendapatkan beasiswa dari luar. Anak tersebut berhasil membuktikan kecerdasannya, dia lulus dengan peringkat terbaik. Tak ayal banyak perusahaan yang berebutan untuk mendapatkannya. Dia akhirnya mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang besar.
Setelah punya rumah dan mobil, tak lama kemudian sang anak menikah kemudian mempunyai anak. Ibu hanya mendengar kisah keberhasilan anaknya dari gunjingan tetangga. Betapa mereka sangat mengasihani si ibu karena mempunyai anak durhaka, yang tidak pernah menengok ibunya. Padahal ia kaya, tapi ibunya dibiarkan sakit-sakitan di gubuk reot. Si ibu menyanggah semua itu, dia mengaku memang melarang anaknya untuk datang. Sebaliknya si Ibu lah yang sering disuruh singgah di rumah besarnya. Tapi tentu saja para tetangga tidak percaya begitu saja.
Karena begitu seringnya tetangga mencecarnya, tidak terasa rasa rindu yang selama ini terpendam meluap sudah. Dengan penuh semangat ia mendatangi rumah anaknya itu.
Ketika ia berdiri di depan pintu anak-anak menertawakannya, bahkan salahsatu dari kedua cucunya itu mengejek matanya yang hilang. Sang anak langsung keluar melihat sumber kericuhan. Begitu tahu kalau yang membuat kericuhan itu adalah ibunya, tanpa ragu dia mengusir ibunya pergi. “Belum cukup kau mengahncurkan masa kecilku? Apakah sekarang kau datang untuk menghancurkan seluruh masa depanku. Pergi kau dari sini! Aku tidak mau melihatmu lagi! Kau begitu keras kepala. Tidak heran ayahku tidak tahan padamu dan mati duluan. Padahal kalau dia masih hidup mungkin kita tidak miskin seperti itu.”
Bagai disayat sembilu, hati ibu begitu sakit. Dan diapun pulang dengan penuh kesedihan.
Waktu berlalu. Suatu hari pria itu menerima undangan reuni di kampung halamannya. Sebenarnya dia tidak ingin sama sekali pergi ke kampung itu. Dia benar-benar ingin meninggalkan jejak buruknya di masa lalu. Tapi, karena dia mulai ikut melakukan kegiatan politik yang menuntut untuk berhubungan dengan orang banyak terpaksa ia datang. Saat dia memasuki kampun halamannya, dia melihat begitu banyak orang berkerumun di depan gubuk tua milik ibunya. Hanya karena ingin tahu dia melongok ke dalam dan mendapati bahwa ibunya telah meninggal. Tanpa perasaan gundah dia hanya berkata bahwa memang sudah seharusnya wanita tua seperti ibunya itu mati. Karena kalau hidup pun hanya menyusahkan orang saja. Sakit-sakitan dan ingin diperhatikan.
Ketika dia akan pergi meninggalkan gubuk itu. Seorang tetangga memanggil untuk mendengarkan surat wasiat di ibu. Dengan enggan iapun kembali masuk. Tetua masayarakat kampung itu mulai membacakan surat wasiat si ibu.

“Saya tidak yakin bahwa surat ini akan dibaca oleh siapapun. Karena agaknya, satu-satunya harapanku, yaitu putraku, pun tidak mungkin kupaksa untuk membaca surat ini.
Walaupun kenyataannya surat ini hanya akan tertiup angin, terinjak-injak begitu saja, terhempas ke bibir pantai, dan yang membacanya pun tidak mengenalku, aku tidak peduli. Aku hanya ingin bersaksi, bahwa kalian semua salah. Anakku tidak seburuk yang kalian sangka. Semua perlakuannya kepadaku memang pantas dia lakukan, karena dia tidak tahu. Sejak kecil dia adalah anak yang cerdas dan lincah. Dia suka mencoba hal baru meskipun itu berbahaya. Suatu hari dia sedang mencoba bola baru yang dibawa ayahnya. Tapi tiba-tiba bola itu menggelinding ke tengah jalan, tanpa ragu dia berlari mengejarnya. Suamiku melihat sebuah kereta kuda yang berlari kencang ke arah anakku, dia berlari mencoba menahannya. Tapi nasib berkata lain, suamiku tewas terinjak kuda yang tidak bisa ditahan lajunya, dan anakku tertusuk matanya oleh serpihan-serpihan kereta yang hancur. Aku sedih karena kehilangan suamiku tapi aku tidak mau anakku sedih karena kehilangan matanya. Maka aku putuskan untuk memberikan satu mataku untuknya. Jika aku menjadi buruk rupa karena mataku cuma satu itu bukan salahnya, tapi itu salahku. Kalaupun aku bisa mnyerahkan nyawaku tentu aku juga akan memberikannya pada suamiku. Jika kemudian dia memarahiku karena memberikan kehidupan yang hina dina pun aku tidak akan marah padanya. Karena cuma itu yang aku punya. Sampaikan pada anakku, bahwa aku akan bersamanya, selalu. Dan aku minta maaf untuk itu.”

Si anak hanya bisa memegang matanya. Ya, ibu akan terus hidup bersamanya selalu. Bukan hanya dalam rongga matanya, namun juga dalam rongga dadanya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Keluarga Pak Wajdi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang