Kamis, 07 Februari 2013

Pernikahan Suku Batak, "Maningkir"


(Maksa! Baru tahu kalo maningkir itu dalam bahasa Batak artinya menengok. Jadi maksud judulnya adalah ‘menengok Batak’. Gak ada tujuan SARA lho! Kiwkiw...)

Tanggal 8 April 2009 kemaren Bunda kedatangan orang Pusat yang mau ngelatih SPIK (Survei ...Indikator Khusus). Namanya Bapak B. Oloan. Dari namanya udah ketahuan tuh kalo dia orang Batak. Dia cerita kalo dia mau merit bulan mei ini dengan orang Bandung-Batak. (Maksuknya orang Batak yang gede di Bandung.) Kita semua kontan ngucapin selamat, eh yang dikasih selamat malah ngeluh: “abis duit nih...”
Lantaran baru kali ini ngeliat orang mau kawin malah bingung (selain yang ‘kecelakaan’ dan kawin paksa ya wkwkwk) kita semua jadi bertanya-tanya. Alhasil pelajaran hari itu lebih banyak ilmu pernikahan adat batak deyyy...

Secara lengkap, ada tiga tahapan yang harus dilalui dalam prosesi pernikahan adat Batak. Pra Nikah, Upacara pernikahan dan Paska Pernikahan.
Dalam Pranikah ada lima langkah yang harus dilalui. (menurut pak Oloan, semua tahapannya bener-bener nguras kantong!)
Kelima langkah tersebut adalah:
I. Mangarisika, kunjungan utusan co secara tidak resmi ke tempat ce untuk penjajakan.
II. Patua Hata, menyampaikan secara resmi bahwa hubungan bermaksud memasuki jenjang pernikahan. Jika pintu terbuka untuk mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian itu dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.
III. Marhori-hori dinding, pembicaraankan tidak resmi menyangkut rencana pernikahan oleh utusan kedua belah pihak, belum diketahui umum.
IV. Marhusip (berbisik), kelanjutan pembicaraan marhori-hori dinding tetapi sudah oleh utusan resmi, bahkan ada kalanya sudah oleh kedua pihak langsung. Pihak co datang pada pihak ce untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor).
V. Pudun Saut. Pengesahan kesepakatan di Marhusip, acara yang dihadiri dalihan na tolu dan suhi ampang na opat masing-masing pihak. Disini pihak co sudah membawa makanan adat. (Kalo gak salah nangkep juga pada tahap ini, pihak co udah bawa uang yang telah disepakati.)
(Selengkapnya setelah Pudun Saut, ada langkah yang dinamakan Martumpol dan Martonggo Raja atau Maria Raja. Intinya adalah menyampaikan hasil persetujuan kepada pejabat gereja. Menyiapkan acara secara teknis dan non teknis. Memberitahu kerabat dan memohon izin. (Karena sangat erat dengan kegiatan gereja, mungkin untuk muslim step ini tidak ada, Bunda harus nyari referensi lagi nih..)
Prosesi Pernikahan..

Paska Pernikahan
Secara tradisi ternyata ada acara yang dilakukan paska pernikahan, biasanya dilakukan 1-2 minggu setelah pesta. Yaitu Paulak une dan Maningkir Tangga.I. Paulak Une. Setelah menjalani pernikahan pasutri ini, ditemani muda-mudi dan wakil pihak pria menjenguk orangtua pihak istri sambil membawa lampet (terbuat dari tepung beras yang dibungkus 2 daun bersilang). Jika pihak pria tidak berkenan pada pernikahan itu maka istri dapat ditinggalkan di rumah orang tuanya.

Comment: Untunglah bagian ini sudah banyak ditinggalkan karena menurut para tetua tidak sesuai ajaran agama, dimana pernikahan hanya dijadikan permainan, dan sesuatu yang sudah disatukan oleh Tuhan tidak boleh dipisahkan oleh manusia...(cie, cieee, bahasanya)
II. Manjaeha. Setelah beberapa lama pasutri menjalani hidup berumah tangga (kalau pria tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah dan mata pencarian.
III. Maningkir Tangga. Pihak orang tua perempuan menjenguk rumah (tangga anaknya) yang biasanya masih satu rumah dengan orang tuanya.

Comment: Karena kadang maksain harus sesuai adat, kadang maningkir tangga dimasukkan dalam susunan prosesi. Hal ini cukup banyak dikecam oleh para pemuka agama. Karena hanya menghamburkan biaya, tidak ada manfaatnya. Karena maksud yang sebenarnya, yaitu menjalin silaturahim dengan anak walaupun sudah berkeluarga justru tidak didapat. Suetuju...hal yang gak penting emang harus dieliminasi. Yang pentingkan hikmahnya, tul gak?


Wah sengaja Bunda gak nulisin panjang lebar prosesi pernikahan adat Batak-nya karena yang ingin Bunda tekankan justru di pranikah-nya. Kenapa? Karena yang terbersit dipikiran Bunda waktu denger kisahnya Pak Oloan itu adalah, betapa susahnya menikah bagi orang Batak. Sampai (maaf!) katanya kalo gak punya uang gak bisa kawin. Huhh! Kacian amat, amat aja gak kacian. Bahkan ada cerita kalo para tetua marga yang menjadi utusan (dalihan na tolu dan suhi ampang na opat), biaya begene-begitunya harus ditanggung ama yang punya hajat. Bisa dibayangkin?
Bunda juga gak tahu bagaimana yang sebenernya, karena Bunda gak pernah involved langsung. Bisa jadi ceritanya tiap orang Batak yang menikah juga berbeda, mungkin aja gak semuanya ngikutin adat kan? Tapi kalo yang Bunda denger ada konsekuensi apabila gak mau ngikutin adat, salah satunya dibuang dari marga. Wah untuk ngebahas itu kayaknya Bunda harus bikin postingan lain tuh...Nanti deh, Bunda survey dulu yah. Nanya-nanya ama orang Batak laen. Tapi mudah-mudahan gak jadi SARA ya. Cuma mempelajari secara objektif aja. Secara Bunda itu orang statistik yang harus mengambil sampel secara purposive.(Naon deui?) 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Keluarga Pak Wajdi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang