Kamis, 07 Februari 2013

Renungan di Bemo Bima


Aku merengut sebal. Tiga kantong plastik besar yang kupangku berhasil membuatku stres. Belanja pas jam bubaran anak sekolah gini emang bikin repot. Harus dengerin anak-anak ABG cekakak-cekikikan, harus ngetem lama depan sekolahan, harus nahan sebel di cerewetin kernet  yang nyuruh geser-geser, seakan-akan tidak ridha membiarkan sedikitpun celah sia-sia. Alhasil, aku harus rela saat dia menyuruhku memangku semua barang belanjaanku. Capek dehh!

Kalau udah sebel gini, biasanya aku langsung nyari kambing hitam. Dan kambing hitam yang kutuduh sekarang adalah suamiku, ya suamiku. Coba kalau dia rela menyisihkan waktunya sebentar untuk mengantarku ke belanja bulanan, aku kan nggak akan menderita begini. Sementara aku tidak pernah diijinkan bawa kendaraan sendiri. Jangankan bawa mobil, motor aja hanya untuk wilayah sekitar (kayak adzan maghrib aja yah?). Huhh, padahal yang namanya belanja bulanan itu kan bukan sedikit. Secara, anaknya tiga orang tukang minum susu formula semua. Belum ini-itunya. Huhh, kembali aku mengeluh. Ya, Tuhan kenapa hidupku menderita begini sih? Padahal dulu aku bercita-cita ingin hidup bahagia ever after, kayak dongeng cinderella gituh. Boro-boro mengarungi samudera, membelah badai, cuman dimintain nganter ke supermarket aja suamiku nggak bisa luangin waktu. Perasaan kecewa menjalar hebat di hatiku. Berbagai kekurangan dan kesalahan suamiku yang lain tiba-tiba muncul seperti efek domino.


Kupandangi kantong-kantong plastik yang bergerak dan bergemerisik seirama putaran roda bemo* (di Bima sebutan untuk kendaraan umum adalah bemo, bentuknya ada yang seperti mikrolet ada juga yang seperti oplet, saat ini kebetulan saya dapat yang bentuknya oplet). Baru saja kemarin kami menerima gaji. Duapertiganya telah berpindah tangan ke kasir di supermarket sesaat lalu, satu pertiganya disimpan untuk bayar rekening, habis deh! Jadi, untuk makan aku mengandalkan tambahan-tambahan lain yang dicari dengan susah payah oleh aku dan suami. Ups, susah payah! Ya, aku ingat betapa susah payahnya suamiku selalu berusaha mencari tambahan demi memenuhi kebutuhan kami. Walaupun begitu sibuknya dia bekerja dia tidak pernah mengeluh saat aku minta bantuannya untuk memandikan anak, mencuci piring atau hanya sekedar untuk menyiram bunga.

Pendapatan kami berdua sebagai pegawai negeri yang baru netes, belum mencukupi kebutuhan kami. Sehingga, kesepakatan keuangan kami untuk membuat rekening bersama. Saat ini kami tidak memisah-misahkan penghasilan kami. Semua kami pakai untuk kami, bukan untuk ayah saja, bunda saja atau anak-anak saja. Jadi belum ada tuh, istilah uang laki-laki, uang perempuan. Tapi, uang KAMI! Jadi, kesepakatannya bahwa semua pendapatan yang diterima harus masuk kas bersama dulu, baru dialokasikan. Hal ini karena diatas kertas kebutuhan kami lebih besar dibandingkan dengan pendapatan tetap yang bisa kami peroleh per bulannya. Sehingga bila ada uang tambahan kami harus pandai-pandai mengelolanya. Dan sudah dipastikan suamiku selalu jujur akan pendapatannya, bahkan tips yang hanya beberapa puluh ribupun dia pasti melaporkannya padaku. Kini terjawab sudah rasa penasaranku yang muncul bertahun-tahun lalu, ketika aku masih anak kecil. Saat itu aku sempat tidak mengerti kenapa Mama dan Papa bisa menjadi begitu kompak. Mereka berasal dari dua latar belakang yang berbeda. Mama berdarah Sunda, Papa berdarah Sumatera. Sama sekali tidak ada pertautan darah, tapi mereka bisa bersatu saling melepaskan nama mereka demi panggilan mama-papa. Nggak pernah itung-itungan dalam membiayai kami, bekerjasama hingga kami bisa besar dan berhasil sampai saat ini. Ahh, kalau aku begitu kagum pada keikhlasan orangtuaku, kenapa aku harus mempertanyakan keikhlasan suamiku dan keikhlasan aku terhadap anak-anakku. Aku rela berdesakan dalam bemo demi anak-anak dan keluargaku. Suamiku rela dicemberutin istrinya karena bekerja keras mencari nafkah untuk anak-anak dan keluarganya. Kami semua bersinergi untuk satu tujuan. Dan kenapa aku harus sebal, toh, sebentar lagi bemoku sampai. Sedangkan perjalananku mengantar anak-anak menuju kesuksesan masih jauh. Aku nggak boleh kalah sama Mama dan Papa. Aku harus lebih sukses dari mereka. Anak-anakku harus lebih hebat dari kami. Dan kami harus berjuang lebih keras demi mereka!

I Love You Ayah..

Bandung 23 Desember 2008-12-23

0 komentar:

Posting Komentar

 

Keluarga Pak Wajdi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang