Senin, 12 Februari 2018

Cerita Ayah: tentang Imam Masjid

Biasanya Ayah rajin sekali shalat ke masjd. Setidaknya setiap Maghrib dan Isya setelah Ayah pulang kantor. Kebiasaan ini juga diikuti oleh anak-anak Emak yang semuanya laki-laki. Mereka selalu Emak ingatkan bahwa keutamaan laki-laki adalah shalat berjamaah di masjid. Memakmurkan masjid adalah kewajiban para laki-laki.

Tapi beberapa waktu berlalu, Emak lihat intensitas Ayah semakin berkurang. Sekalipun pergi ke masjid, pulang-pulang bawa wajah yang masam.  Emak penasaran, lalu bertanya alasannya.

“Semakin hari semakin parah”, jawab Ayah pendek.

“Parah apanya?”.

“Mmmmm..” Ayah menggumam ragu. “Bacaan shalat imamnya sering salah, makhraj-nya ngaco. Awalnya Ayah coba untuk memaklumi, mungkin karena sudah tua dan lidahnya orang Sundanya susah dirubah. Tapi lama-lama Ayah malah sering ngedumel dalam hati pas shalat. Kayaknya shalat di masjid malah bikin tambah banyak dosa.”

“Kenapa gak Ayah saja yang jadi imam kalau begitu?”.  Ayah memang bukan lulusan pesantren tapi Ayah dibesarkan dalam keluarga yang kental ajaran agamnya.  Ayahpun (pernah) hapal beberapa juz dalam Al Qur’an.

“Ya, ga bisa begitu. Ada adab dan aturan bagi seseorang untuk menjadi imam. Kalau Ayah maksa jadi imam gitu, Ayah akan jadi imam yang dibenci oleh jamaahnya.” Padahal itu salah satu yang dilarang bagi imam dalam memimpin shalat berjamaah”.

“Lah, kalau Ayah bisa tapi Ayah diam saja, Ayah ikut menanggung dosanya juga dong.”

“Iya sih, habis gimana mereka sudah sepuh semuanya…”, ujar Ayah sambil ngeloyor pergi.



Suatu hari sepulang dari masjid, Ayah cerita dengan berapi-api. Katanya di papan pengumuman ada surat yang 'ngeritik' DKM. Seharusnya DKM serius dalam memilih imam shalat. Imam shalat sebaiknya yang bacaan suratnya fasih.  Bahkan secara jelas, surat itu menyebutkan beberapa lafadz yang sering salah dibacakan oleh salah seorang imam.

Ayah nampak lega sekali, semua yang ada dalam benaknya tidak perlu keluar dari mulutnya. Ternyata bukan Ayah saja yang ‘menderita’ selama ini.  Tapi dengan adanya surat kaleng di papan pengumuman itu, Ayah jadi sadar kalau kebenaran memang perlu disuarakan. 

Mungkin kita memang tidak pernah sendirian.

Entahlah Emak ga bisa menentukan itu cara yang tepat atau tidak, cara yang baik atau tidak, yang yang efektif atau tidak. Tapi, kalau semua orang seperti Ayah, menahan diri untuk menyatakan kebenaran dan mengorbankan pahala ibadah atas nama sopan-santun, maka ini jalan yang harus diambil. 

Kita harus bersikap!

Truth Hurts but Doesn’t Kill,

Lies May Please But Doesn’t Heal

 The Truth May Hurt for a Little While

But a Lie Hurts Forever

*******



Dasar ILMU-nya...


"Syarat-syarat Imam Shalat"


Shalat secara berjamaah lebih disukai Allah azza wa jalla. Bahkah Allah menggandakan pahala shalat berjamaah hingga 27 derajat, agar manusia suka melakukannya.

Dalam shalat berjamaah ada dua komponen utama: imam dan makmum. Imam bertugas memimpin shalat dan makmum mengikutinya. Sebagai seorang penentu shalat para makmumnya maka selayaknya imam dipilih dari kalangan terbaik dan manusia paling utama diantara jamaah.

Banyak sekali keutamaan menjadi seorang imam. Ada hadits yang menyebutkan, bahwa imam memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang shalat di belakangnya [1]. Namun keutamaan ini tidak menjadikan setiap orang berhak menjadi imam, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Secara internal pada dirinya seorang  yang akan menjadi  imam perlu berintrospeksi, menimbang diri, apakah layak untuk menjadi imam.  Secara syariat, penentuan imam bisa didasarkan pada empat (4) hal ini:

1. Tuan rumah;
2. Penguasa, atau imam yang ditunjuk oleh penguasa (imam rawatib);
3. Orang yang paling fasih dan dalim dalam membaca Al Qur'an maupun ilmu agama        diantara para jamah;

HR  Abi Mas`ud Al Badri Radhiyallahu ‘anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


يَؤُمُّ اْلقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءٌ فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى السُّنَّةِ سَوَاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً ، فَإِنْ كَانُوْا فِى اْلهِجْرَةِ سَوِاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا (وَفِى رِوَايَةٍ : سِنًّا)، وَ لاََ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِه (وفى رواية : فِي بَيْتِهِوَ لاَ يَقْعُدْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya” [2]


4. Bukan orang yang dibenci oleh makmumnya. 
Tentunya kebencian disini bukanlah kebencian yang didasarkan pada urusan duniawi. Menurut Ahmad dan Ishaq dalam Dha'if Sunan Tirmizi, jika yang membencinya satu, dua atau tiga maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka[3]. Namun Shiddiq Hasan Khan rahimullah mengatakan jika disadari ada unsur kebencian diantara jamaahnya maka sebaiknya ia tidak menjadi imam.



     Footnote:
[1]. Kitab Mulakhkhsul Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan, halaman 1/149.

[2]. HR Muslim 2/133. Lihat Irwa` Ghalil 2/256-257.

[3]. Lihat Dha`if Sunan Tirmizi, halaman 39.







 I     Ilmu disarikan dari :"Adab-adab Imam dalam Shalat Berjamah"






#PerempuanBPSMenulis
#15HariBercerita

#HariKe-5

0 komentar:

Posting Komentar

 

Keluarga Pak Wajdi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang